Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2025

Surat kepada Aku yang Dulu

Hai, kau yang sedang duduk di bangku kuliah, dikelilingi tumpukan teori dan harapan, menyusun rencana hidup yang indah seperti merangkai origami. Hai, gadis penuh cita-cita yang percaya bahwa hidup bisa diatur serapi to-do list, apa kabarmu? Dulu, kau membayangkan di masa depan kau akan menjadi ibu yang produktif baik secara materi maupun kontribusi, bekerja dari rumah dengan anak-anak bermain ceria di dekatmu, berpenghasilan cukup, tetap tampil manis, dan punya waktu luang untuk membaca buku kesukaanmu. Ah, indah sekali ya? Kau percaya bahwa mimpi bisa diraih dengan niat baik dan perencanaan matang. Aku tersenyum mengingatnya. Bukan karena itu keliru, tapi karena aku baru tahu: hidup tak selalu mau ikut rencana. Kini aku sudah di masa depan itu! Tapi... Hari ini, aku tak bekerja di kantor megah, tidak juga bergaji sepuluh juta, dan hariku tak selalu indah. Kadang aku lupa makan, kadang aku menangis di kamar mandi, kadang aku iri melihat perempuan lain yang tampaknya lebih 'berhasi...

Ambisi, Cinta, dan Pernikahan

Ada sebuah kutipan yang viral sekali di media sosial.  Katanya gini: "Salah satu kesalahan terbesar perempuan adalah menikahi pria yang tidak punya ambisi." Ada yang bercerita dari sudut pandangnya, ada yang sekadar ikut tren viral, ada juga yang jadi mempertanyakannya pernikahannya sendiri. Konten-konten itu nampaknya m emunculkan kebisingan d an luka. Karena di balik kalimat itu, terselip banyak asumsi, dan sedikit sekali ruang untuk memahami. Tapi… Mari kita tarik napas dan bertanya: Apa yang dimaksud dengan ambisi? Karier yang menjulang? Penghasilan dua digit? Jabatan tinggi di usia muda? Lalu… Apa yang membuat seorang pria layak dinikahi? Apakah ia harus selalu berlari, mengejar dunia, demi membuktikan diri? Bagaimana jika ambisinya bukan mendaki puncak materi, tapi mendidik anak-anaknya dengan cinta yang sadar? Tidakkah itu juga ambisi? Atau, karena tidak glamor, kita abaikan? Dan bagaimana jika ada laki-laki yang tampak berambisi, tapi justru malah tidak hadir untuk ke...

Merayakan Kegagalan

Pernah nggak sih, kamu lagi scroll Instagram, terus tanpa sadar mulai ngebandingin hidup sendiri sama hidup orang lain? Yang muncul di feed: keberhasilan demi keberhasilan. Ada yang baru lulus kuliah, jualannya sold out terus, anaknya hafal juz sekian, konsisten edukasi ini itu, homeschooling anaknya dengan sabar, rumahnya estetik, hidupnya terlihat rapi dan… ya, “berhasil”. Aku nggak bilang itu salah. Sama sekali nggak.  Keberhasilan memang pantas dirayakan. Harus malah! Karena di balik keberhasilan itu, pasti ada perjuangan yang nggak kelihatan. Tapi di tengah semua euforia itu, aku jadi kepikiran… Kenapa ya, kegagalan jarang dapat ruang untuk dirayakan juga? Padahal, kalau dipikir-pikir, kegagalan justru sering jadi guru yang paling sabar. Ia mungkin menyakitkan, tapi diam-diam membentuk kita jadi lebih kuat. Mengajarkan kita tentang keikhlasan, keberanian, dan yang paling penting: pengenalan terhadap diri sendiri. Kegagalan bikin kita berhenti sejenak. Bukan untuk menyerah, tap...