Ambisi, Cinta, dan Pernikahan
Ada sebuah kutipan yang viral sekali di media sosial. Katanya gini:
"Salah satu kesalahan terbesar perempuan adalah menikahi pria yang tidak punya ambisi."
Ada yang bercerita dari sudut pandangnya, ada yang sekadar ikut tren viral, ada juga yang jadi mempertanyakannya pernikahannya sendiri.
Konten-konten itu nampaknya memunculkan kebisingan dan luka. Karena di balik kalimat itu, terselip banyak asumsi, dan sedikit sekali ruang untuk memahami.
Tapi…
Mari kita tarik napas dan bertanya:
Apa yang dimaksud dengan ambisi?
Karier yang menjulang? Penghasilan dua digit? Jabatan tinggi di usia muda?
Lalu…
Apa yang membuat seorang pria layak dinikahi?
Apakah ia harus selalu berlari, mengejar dunia, demi membuktikan diri?
Bagaimana jika ambisinya bukan mendaki puncak materi,
tapi mendidik anak-anaknya dengan cinta yang sadar?
Tidakkah itu juga ambisi?
Atau, karena tidak glamor, kita abaikan?
---
Sungguh,
Ambisi bukan masalah. Tapi menuhankan ambisi—itu yang berbahaya.
Dan pernikahan bukan lomba CV siapa yang lebih banyak bintang emasnya.
Yang kita butuhkan bukan hanya pasangan yang punya mimpi.
Tapi yang tahu bagaimana memelihara mimpimu juga.
Yang tidak takut kamu tumbuh.
Yang rela menjadi rumah, bukan panggung persaingan.
---
Dan kalaupun ada perempuan yang kini merasa "salah menikah", mungkin bukan karena suaminya tidak punya ambisi, tapi karena suaminya tidak hadir.
Tidak bertumbuh. Tidak mau belajar. Tidak menunaikan amanah.
Maka, masalahnya bukan pada ketiadaan ambisi—
tapi pada hilangnya tanggung jawab.
---
Jadi, menurutku narasi ini perlu diluruskan.
Karena terlalu banyak perempuan yang menikahi pria ambisius, tapi hidupnya justru penuh luka.
Karena ambisi suaminya tidak pernah mengikutsertakan dirinya di dalamnya.
Dan terlalu banyak pria baik yang dijatuhkan hanya karena tidak memenuhi standar kapitalistik yang dangkal:
“Kamu harus jadi lebih hebat, lebih kaya, lebih menjulang—atau kamu bukan siapa-siapa.”
---
Tidak, kita tidak menikah dengan ambisi.
Kita menikah dengan manusia.
Dan manusia terbaik, bukan yang punya ambisi paling besar, tapi yang paling bisa diandalkan ketika badai datang.
Yang tidak melupakanmu di tengah mimpi-mimpinya.
Maka, wahai perempuan,
Jangan tertipu oleh kutipan yang viral, tapi hampa makna.
Pilihlah laki-laki yang bertakwa,
yang menua bersamamu dalam proses.
Yang tahu arah, meski langkahnya pelan.
Yang tidak hanya ingin berhasil,
tapi ingin bertumbuh bersama.
Karena pernikahan bukan pamer hasil,
tapi perjalanan panjang saling menemani dalam menjadi.
Komentar
Posting Komentar