Rasa yang Menghidupkan Sujud

Pernah ada masa ketika sujud membuat mataku basah, dan bacaan demi bacaan terasa seperti bisikan lembut dari langit. Sholat bukan sekadar gerakan, tapi pelukan. Perjumpaan yang kurindukan, bukan kewajiban yang kulakukan. Saat itu, rasanya... dekat. Dalam. Tenang.

Namun waktu bergulir, hidup terus berputar. Hari-hari semakin padat, pikiranku semakin riuh. Entah sejak kapan, sholat berubah rupa—dari pelukan menjadi jeda. Jeda dari rutinitas, bukan pertemuan yang menyembuhkan. Tubuhku masih setia berdiri lima kali sehari, namun hatiku seringkali tertinggal di tempat lain. Berpikir, bergegas, berisik.

Dan yang menyedihkan, aku terbiasa. Terbiasa sholat tanpa rasa. Terbiasa menyapa-Nya tanpa benar-benar hadir. Hingga suatu hari, rindu itu datang. Rindu yang menyesakkan. Rindu berdiri dengan gemetar. Rindu sujud yang lama, karena tak ingin cepat berpisah. Rindu rasa itu. Rindu Dia.

Lalu aku mulai bertanya pada diri sendiri: Apa yang membuat sholat terasa hidup? Apa yang membuat sujud menjadi rumah?

Dulu sekali, mungkin kita diajarkan bahwa shalat adalah kewajiban. Karena aku seorang muslim, dan sholat adalah syaratnya. Tapi kemudian aku mendengar sebuah kalimat yang menggugah: “Sholat itu bukan hanya wajib, tapi juga kebutuhan.”

Tapi aku merenung lagi, benarkah shalat adalah kebutuhan agar tercapai kenikmatan? Kebutuhan yang aku pahami seperti makan dan minum. Kita butuh untuk tetap hidup. Dalam sehat ataupun sakit, tubuh tetap butuh asupan. Begitupun shalat, dalam naik ataupun turun, jiwa tetap butuh sujud.

Tapi... siapa yang menikmati makan saat tubuh sedang demam? Siapa yang benar-benar ingin makan ketika mual dan lemah? Kita butuh, tapi belum tentu ingin. Saat hati sedang letih, sholat terasa seperti rutinitas yang hambar. Menjalani karena harus, mengisi ruang kosong, bukan menghadirkan cahaya.

Dan akhirnya aku mengerti: untuk benar-benar merasakan nikmatnya sholat, tidak cukup hanya karena wajib. Tidak cukup hanya karena butuh. Tapi kita butuh "mau". Mau yang tumbuh dari cinta. Mau yang lahir dari kerinduan. Bukan kewajiban yang memaksa, bukan kebutuhan yang menuntut, tapi kerinduan yang menarikku datang.

Karena hanya dengan kemauan yang hidup, sholat kembali menjadi pertemuan, bukan kewajiban. Sujud kembali menjadi pelukan, bukan jeda. Dan di situlah, mungkin—nikmat sholat itu akan kutemukan lagi. Di antara “aku harus”, dan “aku butuh”, ada “aku ingin”. Dan ingin... adalah pintu menuju cinta.


Kenapa Ingin Menjadi Pintu Menuju Cinta?

"Ingin" adalah dorongan yang datang dari hati yang terdalam, bukan dari kewajiban atau kebutuhan yang terpaksa. Ketika kita ingin melakukan sesuatu, itu berarti ada sebuah ketulusan, pilihan sadar, dan gairah yang menggerakkan kita. Cinta sendiri juga hadir bukan karena terpaksa, tetapi karena rasa yang lahir dari kedalaman hati, yang ingin memberi tanpa paksaan.

Dalam konteks sholat, "ingin" adalah kondisi hati yang merindukan pertemuan dengan Sang Pencipta. Sholat yang dilakukan karena rasa ingin ini menandakan adanya hubungan yang lebih dari sekadar kewajiban. Ini adalah hubungan yang tumbuh dari kecintaan dan kerinduan untuk mendekatkan diri. Sama seperti kita ingin bertemu dengan orang yang kita kasihi—bukan karena harus atau karena butuh, tetapi karena kita merindukan mereka, ingin berbagi momen bersama mereka. Dalam hal ini, "ingin" menciptakan kehadiran hati, bukan hanya fisik.

Jadi, "ingin" bukan sekadar tindakan, tetapi pilihan yang datang dari cinta itu sendiri. Ia membuka pintu menuju hubungan yang lebih mendalam, baik dalam sholat, maupun dalam hal apapun yang kita lakukan dengan penuh kesadaran dan cinta. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zona 7 Day 1 Cinta Bumi: Membuat Tabel Aktivitas Cinta Bumi

Zona 3 Day 2 : Brainstorming Aktivitas Stimulasi Anak 3-6 Tahun