Jam 5 Sore Ketiduran, Bangunkan atau Biarkan?

Ada yang pernah ngalamin anak ketiduran jam 5 sore? Rasanya serba salah. Di satu sisi, tubuhnya jelas butuh istirahat karena sudah terlalu lelah. Tapi di sisi lain, jam tidur malam bisa jadi berantakan, rutinitas sebelum tidur jadi lewat, bahkan kita sendiri ikut bingung harus ambil sikap apa. Dibangunkan takut anak cranky, dibiarkan takut nanti malah begadang sampai tengah malam.


Itulah yang terjadi pada Hikari hari ini. Usianya 4,5 tahun, sedang belajar kemandirian lewat rutinitas malam yang sederhana. Tapi namanya juga anak-anak, kadang tubuhnya lebih jujur dari kemauannya. Setelah seharian aktif tanpa tidur siang, jam 5 sore tubuhnya “memutuskan” untuk istirahat. Tantangan pun dimulai: bangunkan atau biarkan?


Saat maghrib, aku coba membangunkannya. Hikari sempat membuka mata, tapi malah pindah ke kasur Mama. Jam 7 dicoba lagi, tapi tetap susah sekali. Jujur, aku sempat bingung: kalau dibiarkan, rutinitas malam bisa skip. Tapi kalau dibangunkan di saat yang salah, takut mengganggu kualitas tidurnya.


Belajar Tentang Siklus Tidur Anak


Akhirnya aku memilih untuk mencari tahu dulu. Dari beberapa referensi, anak usia balita masih butuh tidur 10–12 jam sehari, plus tidur siang sekitar 1–2 jam. Siklus tidur mereka berlangsung sekitar 60–90 menit, yang terdiri dari empat fase: tidur ringan, transisi menuju pulas, deep sleep alias tidur nyenyak, dan fase mimpi. Setelah satu siklus selesai, tubuh kembali ke fase tidur ringan.


Nah, dengan logika ini, kalau Hikari mulai tidur jam 17.00, maka sekitar 18.15 ia sudah menyelesaikan siklus pertamanya. Memang betul, sekitar waktu itu ia sempat membuka mata sebentar dan bergeser posisi. Tapi ketika aku coba membangunkannya lagi jam 19.00, ternyata ia masih ada di fase deep sleep—makanya susah banget dibangunkan.


Jadi aku tunggu lagi. Hitungan kasarnya, siklus kedua akan selesai sekitar jam 19.30. Dan benar saja, ketika aku coba bangunkan pelan-pelan—dengan memanggil namanya dan mengusap punggungnya—Hikari membuka mata. Memang masih dengan ekspresi “loading” khas anak ngantuk, butuh waktu 1–2 menit sebelum akhirnya mau bangun.




Aku ajak ia ke kamar mandi untuk pipis dulu. Awalnya sempat duduk lagi di depan toilet sambil merengek kecil, tapi setelah dibujuk, ia mau juga. Setelah selesai, ia langsung rebahan di kasur. Karena masih setengah sadar, aku tuntun doa tidurnya singkat, lalu ia kembali terlelap.


Alhamdulillah... Malam ini rutinitas sederhana tetap bisa dijalankan, meskipun mode singkat.


Apa yang Dipelajari? 


  • Tidur siang ternyata masih penting di usia 4,5 tahun. Walaupun Hikari mulai menolak, tubuhnya tetap butuh jeda. Kalau tidak, hasilnya bisa kehabisan energi di sore hari.


  • Jika memang perlu membangunkan anak, lebih baik dilakukan di fase tidur ringan, bukan saat deep sleep. Membuka mata sebentar, gelisah, atau pindah posisi bisa jadi tanda tubuhnya sudah keluar dari fase nyenyak.


  • Sebagai orang tua, perlu siap dengan Plan A, B, C. Tidak semua hari berjalan sesuai rencana, tapi yang penting esensinya: anak merasa aman, nyaman, dan kebutuhan dasarnya terpenuhi.


Penutup


Kadang kita terlalu sibuk ingin menjaga checklist rutinitas, sampai lupa bahwa yang terpenting justru rasa aman dan nyaman yang anak bawa ke dalam tidurnya. Hari ini aku belajar, rutinitas itu bukan sekadar soal urutan langkah yang rapi, tapi soal hadirnya orang tua yang peka, sabar, dan mau menyesuaikan ritme.


Dan ternyata, di balik dilema kecil seperti “dibangunkan atau dibiarkan,” ada ruang belajar yang besar untukku juga: belajar percaya pada proses, belajar membaca tanda tubuh anak, dan belajar fleksibel tanpa kehilangan arah.


Pada akhirnya, bukan soal sempurna atau tidaknya rutinitas malam, tapi tentang bagaimana anak bisa tidur dengan hati yang tenang, ditemani rasa aman, dan bangun dengan energi baru untuk esok hari. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zona 7 Day 1 Cinta Bumi: Membuat Tabel Aktivitas Cinta Bumi

Rasa yang Menghidupkan Sujud

Zona 3 Day 2 : Brainstorming Aktivitas Stimulasi Anak 3-6 Tahun