Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2025

Memaafkan: Melepaskan Beban, Memberi Ruang untuk Kedamaian

Ada banyak hal dalam hidup yang tidak berjalan sesuai harapan. Ada orang-orang yang, entah sadar atau tidak, menyakiti kita. Ada keputusan-keputusan yang meninggalkan luka. Dan ada masa lalu yang rasanya terlalu berat untuk dikenang, apalagi diterima. Salah satu proses paling sunyi, namun paling dalam, dalam perjalanan hidup seseorang adalah memaafkan. Bukan, memaafkan bukan berarti melupakan. Bukan berarti membenarkan apa yang salah. Memaafkan tidak mengharuskan kita menghapus rasa sakit atau berpura-pura bahwa kita baik-baik saja. Justru, memaafkan dimulai dari keberanian untuk mengakui luka yang ada, merangkulnya, lalu perlahan-lahan melepaskannya. Aku belajar bahwa memaafkan bukan tentang orang lain—ini tentang diri kita sendiri. Tentang kelegaan yang kita butuhkan. Tentang ruang yang kita butuhkan di dalam hati untuk bernafas, tanpa selalu diganggu oleh rasa sakit yang belum selesai. Sering kali yang membuat sulit memaafkan bukan hanya karena luka yang dalam, tapi karena kita berh...

Antara Vibrasi dan Prasangka Baik: Menjernihkan Konsep Energi dalam Pandangan Islam

Belakangan ini, istilah seperti energi positif, vibrasi, frekuensi pikiran, bahkan resonansi semesta semakin sering terdengar. Di media sosial, dalam buku-buku motivasi, hingga dalam kelas pengembangan diri. Menariknya, tidak sedikit dari istilah ini yang dibungkus dengan nuansa spiritual atau bahkan dikaitkan dengan Islam. Salah satu yang sering dikutip adalah hadits, "Aku sesuai prasangka hamba-Ku kepada-Ku." Sebagai seorang muslim yang ingin terus belajar dan menjaga kemurnian tauhid, pertanyaannya adalah: apakah konsep vibrasi dan resonansi ini benar-benar ilmiah? Apakah sesuai dengan Islam? Ataukah bisa menyesatkan secara halus? Apa Itu Energi, Vibrasi, dan Resonansi? Secara ilmiah, energi adalah kemampuan untuk melakukan kerja, sesuai dengan hukum kekekalan energi dalam fisika klasik. Energi bisa berbentuk kinetik, potensial, listrik, termal, dan sebagainya. Vibrasi (getaran) dan frekuensi adalah konsep nyata dalam fisika. Contohnya, suara merupakan gelombang mekanik ya...

Sikat Gigi di Kampus dan Pelajaran Pernikahan yang Tidak Ada dalam Silabus

Tadi malam aku mimpi sikat gigi di kampus. Bareng suamiku. Bukan di rumah, bukan di penginapan, tapi... di lorong kampus. Kami berjalan dari entahlah—mungkin kost, melewati kost-kostan lainnya selayaknya mahasiswa yang mau ngampus pagi-pagi sekali. Dan lucunya lagi, setelah sampai kampus, ternyata kami bukan yang pertama disana. Ada banyak banget orang yang sikat gigi duluan. Berjejer rapi di depan wastafel—dengan sikat gigi dan odol masing-masing.  Aku dan suami? Ya udah, ikut aja. Ambil tempat kosong, dan sikat gigi. Bahkan seperti keseharianku saat ini, sambil menggendong Hurriyyah bayiku. Wajar aja, kayak rutinitas pagi biasa. Aneh tapi biasa. Absurd tapi terasa masuk akal—setidaknya dalam mimpi. Pas bangun, aku senyum sendiri. Tapi terus muncul pertanyaan: Kenapa sih mimpi bersama suamiku latarnya selalu sekolah dan kampus? Kenapa aku dan suamiku seringkali jadi siswa atau mahasiswa lagi dalam mimpi? Aku merenung, mungkin karena hidup pernikahan memang mirip-mirip kampus...

Ruang Kecil untuk Bersedih

Kadang kita merasa harus selalu kuat. Harus bisa tersenyum. Harus bisa sabar. Harus bisa “melihat sisi baik dari semuanya.” Dan di tengah semua harus itu, kita lupa bahwa kita juga manusia. Lalu datanglah rasa sedih—yang kadang muncul tiba-tiba tanpa alasan yang jelas. Tapi kita malah menahannya. Bukan karena nggak bisa menangis, tapi karena merasa nggak pantas. “Sedih kenapa? Masalahmu cuma segini. Masih banyak yang lebih berat,” begitu kata suara di kepala. Padahal, sedih itu bukan kompetisi. Ia bukan tentang seberapa besar masalah kita di mata dunia. Ia adalah perasaan personal, yang sah untuk hadir tanpa harus mendapat izin dulu dari “standar kelayakan sosial.” Kesedihan bukan soal layak atau tidak layak. Bukan soal siapa yang lebih berat bebannya. Tapi soal menjadi manusia seutuhnya—yang tak hanya tahu cara tertawa, tapi juga bisa menangis dengan jujur. Kita nggak perlu menyamakan atau membandingkan rasa sedih kita dengan tragedi apapun. Luka kecil di dalam tetaplah luka, tetap b...