Sikat Gigi di Kampus dan Pelajaran Pernikahan yang Tidak Ada dalam Silabus

Tadi malam aku mimpi sikat gigi di kampus. Bareng suamiku.

Bukan di rumah, bukan di penginapan, tapi... di lorong kampus. Kami berjalan dari entahlah—mungkin kost, melewati kost-kostan lainnya selayaknya mahasiswa yang mau ngampus pagi-pagi sekali. Dan lucunya lagi, setelah sampai kampus, ternyata kami bukan yang pertama disana. Ada banyak banget orang yang sikat gigi duluan. Berjejer rapi di depan wastafel—dengan sikat gigi dan odol masing-masing. 

Aku dan suami? Ya udah, ikut aja. Ambil tempat kosong, dan sikat gigi. Bahkan seperti keseharianku saat ini, sambil menggendong Hurriyyah bayiku. Wajar aja, kayak rutinitas pagi biasa. Aneh tapi biasa. Absurd tapi terasa masuk akal—setidaknya dalam mimpi.

Pas bangun, aku senyum sendiri. Tapi terus muncul pertanyaan: Kenapa sih mimpi bersama suamiku latarnya selalu sekolah dan kampus? Kenapa aku dan suamiku seringkali jadi siswa atau mahasiswa lagi dalam mimpi?

Aku merenung, mungkin karena hidup pernikahan memang mirip-mirip kampus. Ada tugas harian, ujian berkala, dan kadang... nggak ada kisi-kisi. Ada yang diajarin langsung, ada juga yang harus dicari tahu sendiri. Dan yang paling penting: selalu belajar bareng. Selalu tumbuh bareng.

Bahkan hal kecil kayak sikat gigi pun, dalam mimpi itu, jadi simbol keintiman paling sederhana: berbagi rutinitas, berbagi antrian, berbagi tempat—di mana pun itu. Bahkan kalau tempatnya nggak masuk akal.

Lalu aku sadar... Mimpi itu seperti pernikahan: kadang nggak selalu logis. Tapi bisa tetap terasa nyaman, selama dijalani bersama.

Ada sisi polos dalam mimpi itu—kami berdua seperti remaja yang nggak banyak mikir, cuma menjalani hari apa adanya. Mungkin itu cerminan dari sisi terdalam dalam diriku yang rindu kesederhanaan. Pernikahan kadang dipenuhi dengan hal-hal besar: tagihan, pengasuhan, keputusan berat. Tapi ternyata, bagian yang paling terasa hangat seringkali justru yang kecil-kecil itu: nyikat gigi bareng, ngupas buah, atau nyari kaus kaki yang hilang.

Dan mungkin, mimpi itu adalah caraku diingatkan bahwa cinta itu bukan tentang tempatnya di mana atau momennya kayak gimana, tapi tentang siapa yang bersamaku saat itu.

Walaupun sikat gigi di lorong kampus jelas bukan pilihan logis, tapi kalau itu bareng orang yang tepat—ya dijalanin juga nggak papa. Kadang memang kita nggak butuh masuk akal untuk merasa tenang.

Mungkin ini juga pesan halus dari alam bawah sadar: untuk tetap belajar, tetap tumbuh, dan tetap melihat pasangan sebagai “teman satu kelas” dalam hidup. Teman belajar yang sama-sama nyari cara lulus—dari satu fase ke fase berikutnya.

Dan ternyata, meski absurd, mimpi ini ngajarin aku sesuatu: kadang cinta nggak butuh panggung besar. Cukup lorong kampus dan pasta gigi, sudah bisa jadi kisah yang berarti.

---

Apakah kamu juga sering bermimpi absurd

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zona 7 Day 1 Cinta Bumi: Membuat Tabel Aktivitas Cinta Bumi

Zona 4 Day 1 Melatih Kemandirian dalam Rutinitas Pagi

Rasa yang Menghidupkan Sujud