Postingan

Pelajaran Hidup dari Menjadi Ibu: Hal-hal yang Dulu Tidak Aku Sadari

Dulu, aku berpikir bahwa menjadi ibu adalah tentang mengasuh, mendidik, dan memastikan anak tumbuh sehat. Aku melihatnya sebagai peran alami yang pasti bisa dijalani dengan naluri. Tapi ternyata, menjadi ibu adalah perjalanan belajar seumur hidup yang penuh kejutan. Ada begitu banyak hal yang baru aku sadari setelah menjalaninya sendiri, hal-hal yang dulu tak pernah terpikirkan. 1. Waktu Ternyata Begitu Berharga Sebelum punya anak, aku merasa waktu selalu cukup. Bisa rebahan lebih lama, gampang 'hayu' kalau diajak kemanapun tanpa banyak pertimbangan, atau yaa sekadar menikmati secangkir teh tanpa gangguan. Tapi setelah menjadi ibu, waktu terasa begitu cepat berlalu. Bangun pagi, mengurus anak, memasak, bekerja, berkomunitas, lalu tiba-tiba hari sudah malam. Aku belajar bahwa setiap momen berharga, bahkan yang paling sederhana sekalipun. Sekarang, menikmati teh hangat tanpa interupsi sudah seperti liburan kecil bagiku. 2. Tidur Nyenyak Adalah Kemewahan Dulu, tidur adalah hal bia...

Sebuah Perenungan Idul Fitri

Idul Fitri datang sebagai perayaan setelah sebulan penuh menahan diri. Ia bukan sekadar hari kemenangan, melainkan titik balik untuk kembali kepada fitrah—kesucian yang telah diasah sepanjang Ramadhan. Dalam kebersamaan dan kebahagiaan hari ini, mari kita merenung: sejauh mana kita telah berubah? Apa yang tersisa dari latihan spiritual yang kita jalani? Ramadhan mengajarkan kita untuk sabar dalam menahan lapar dan dahaga, tetapi lebih dari itu, ia juga melatih kita untuk menahan amarah, prasangka, serta hawa nafsu yang sering kali membelenggu hati. Setelah sebulan penuh berjuang, kini kita sampai di hari yang dinanti. Namun, apakah kemenangan ini hanya dirayakan dengan pakaian baru dan hidangan melimpah? Atau ada makna yang lebih dalam yang perlu kita hayati? Fitrah berarti kembali kepada kemurnian jiwa—seperti seorang bayi yang baru lahir, bebas dari dosa dan penuh dengan harapan. Namun, pernahkah kita berpikir bahwa mungkin, selama ini kita tidak pernah benar-benar kembali ke fitrah?...

Sebuah Surat untuk Diri

Hai, Putri. Apa kabar? Hari ini rasanya berat ya? Sepertinya banyak hal yang berputar di kepala, dan jujur saja, itu melelahkan. Kamu ingin melakukan banyak hal, tapi di saat yang sama, kamu juga merasa tidak cukup waktu, tidak cukup tenaga. Seperti ada keinginan besar untuk terus maju, tetapi ada juga rasa takut yang menghantui. Takut gagal, takut tidak cukup baik, takut mengecewakan orang lain. Tapi, bukankah itu wajar? Kamu bukan robot. Kamu manusia, yang punya batas dan juga berhak untuk berhenti sejenak. Putri, jangan lupa bahwa setiap langkahmu ada dalam pengaturan Allah. Tidak ada yang benar-benar sia-sia. Kadang kamu merasa tak cukup baik, tak cukup kuat, tapi bukankah Allah yang Maha Kuat selalu bersamamu? Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Jadi, tenanglah. Apa pun yang terjadi, kamu selalu dalam penjagaan-Nya. Sering kali, kamu terlalu sibuk mengejar sesuatu dan lupa untuk bersyukur atas apa yang sudah Allah berikan. Coba lihat ke belakang...

Menemukan Makna dalam Berbagi

Pernahkah kita merasa ragu untuk berbagi? Merasa belum cukup sukses, belum punya pencapaian yang layak untuk dibagikan, atau takut dilihat dengan cara yang tidak kita inginkan? Sering kali, kita berpikir bahwa berbagi adalah tentang menunjukkan kesempurnaan, padahal berbagi yang sesungguhnya justru lahir dari rasa cukup dan syukur. Mengapa Kita Ragu untuk Berbagi? Ada banyak alasan yang membuat seseorang merasa ragu untuk berbagi, terutama di media sosial. Salah satunya adalah perbandingan diri dengan orang lain. Ketika melihat orang lain yang tampaknya lebih sukses, lebih stabil secara ekonomi, atau memiliki pencapaian yang lebih besar, kita jadi mempertanyakan: Apakah aku pantas berbagi? Apakah orang lain akan melihatku sebagai seseorang yang tidak cukup berhasil? Ketakutan ini wajar. Namun, jika kita terus menunda berbagi hanya karena merasa belum cukup, kita akan kehilangan kesempatan untuk memberi manfaat. Padahal, berbagi bukan soal siapa yang paling sukses, melainkan siapa yang ...

Berkembang dalam Zona Nyaman

"Ayo keluar dari zona nyaman!” Kalimat ini sering kita dengar sebagai dorongan untuk bertumbuh dan mencapai hal-hal besar. Seakan-akan, jika kita tetap berada di zona nyaman, kita akan tertinggal, tidak berkembang, dan hanya berdiam diri. Tapi, benarkah begitu? Zona nyaman sering mendapat stigma negatif, padahal bagi banyak orang, justru di sanalah mereka bisa berkembang dengan lebih baik. Bukan karena takut keluar, tetapi karena menemukan cara bertumbuh yang lebih selaras dengan diri mereka. Zona Nyaman ≠ Stagnasi Banyak yang mengira bahwa berada di zona nyaman sama dengan tidak melakukan apa-apa. Padahal, kita bisa tetap bergerak maju tanpa harus merasa tertekan atau cemas. Justru, berada dalam zona yang aman secara emosional bisa membantu kita membangun kebiasaan baik, meningkatkan keterampilan, dan lebih percaya diri sebelum mengambil langkah lebih besar. Seperti bayi yang belajar berjalan, ia tidak langsung berlari. Ia perlu merasa aman di pelukan orang tuanya, belajar d...

Anti Baper! Begini Cara Hadapi Komentar Pedas

Siapa sih yang nggak pernah dapet komentar pedas? Entah dari teman, keluarga, atau netizen di media sosial, pasti ada aja yang nyinyir atau kasih kritik yang rasanya nyelekit. Kadang niatnya baik, tapi sering juga bikin hati panas dan mood breakdance . Nah, biar nggak gampang baper, yuk simak cara menghadapi komentar pedas tanpa drama berlebihan! 1. Nggak Semua Komentar Perlu Didengerin Nggak semua orang ngomong pakai logika dan empati. Kadang ada yang cuma asal nyablak tanpa mikirin efeknya ke kita. Jadi, sebelum kepikiran sampai seminggu, tanya ke diri sendiri: "Beneran penting nggak sih omongan ini buat hidupku?" Kalau jawabannya nggak, skip aja! 2. Jangan Langsung Baper, Tenang Dulu Refleks pertama saat dapet komentar negatif? Kesel, sedih, atau malah langsung pengen balas dendam. Tapi, tahan dulu! Ambil napas, kasih waktu buat diri sendiri mikir. Jangan sampai kita bereaksi berlebihan dan malah makin ribet. 3. Cek, Ini Kritik Membangun atau Cuma Nyinyir? Kalau ada kriti...

Aku Tak Mau Jauh dari Anakku, Tapi Aku Juga Butuh Tenang

Katanya, untuk mendapatkan ketenangan, ibu harus lepas sejenak dari anak-anak. Me-time tanpa mereka.  Entah jalan-jalan, makan, main, belanja, apapun itu. Tapi seringkali, setelah jauh dari anak, kok hati malah jadi tidak tenang ya?  Kadang, justru saat jauh dari anak, pikiranku tetap dipenuhi rasa khawatir . “Anak-anak sedang apa ya? Apa mereka baik-baik saja?” Bukannya benar-benar tenang, aku malah merasa ada yang kurang. Tapi, apakah benar ketenangan hanya bisa didapat dengan menjauh dari anak? Kenyataannya, banyak ibu yang sudah mengambil waktu sendiri, tapi tetap merasa lelah saat kembali ke rumah. Ah ternyata, ketenangan bukan soal jarak, melainkan tentang bagaimana aku mengatur ruang di dalam keseharianku. Aku ingin selalu ada untuk anak-anakku, tapi di saat yang sama, aku juga butuh ruang untuk bernapas. Sebagai ibu, setiap hari kita dihadapkan pada berbagai tuntutan: mengurus anak, pekerjaan, rumah, dan mungkin juga komunitas. Terkadang, kita bahkan tidak sempat men...