Perjalanan Toilet Training si Sulung dengan Elimination Communication

Awal mula yang menggelitik hati dan membuatku berefleksi terjadi 4 tahun lalu ketika aku mendengarkan ceramah Ust. Harry Santosa tentang fitrah anak yang tanpa sadar diabaikan oleh orang tua mereka sendiri. Salah satu contohnya adalah fitrah kebersihan.

Foto bayi menangis
Sumber gambar: hellosehat.com

Ingatkah ketika bayi merah kita menangis saat popoknya basah? Kemudian, mereka merasa nyaman dan tenang kembali ketika popok mereka sudah diganti. Ini merupakan salah satu bukti bahwa mereka senang dengan kebersihan. Namun, tidak sedikit orang tua yang malah memilih kemudahan dengan popok sekali pakai, merasa lebih tenang karena anak menjadi lebih anteng, orang tua tidak repot, dan praktis pemakaiannya.

Ketika saatnya tiba untuk toilet training, mungkin banyak orang tua merasa kebingungan. Padahal, orang tua sendiri yang terlebih dahulu mengabaikan fitrah kebersihan anak. Terkadang, popok sekali pakai digunakan untuk 'mengatasi' permasalahan, meskipun pada akhirnya malah membuahkan masalah baru pada anak, pada orang tua, belum lagi kalau bicara soal dampak negatifnya pada lingkungan. Sedihnya, aku pun merasa menjadi salah satu dari orang tua yang mengalami hal ini :')

Hidup Tanpa Popok, Bagaimana Bisa? 

Tiba-tiba pikiranku melintas waktu, aku mulai mengagumi generasi-generasi sebelumnya yang dapat hidup tanpa popok sekali pakai. Aku bertanya-tanya, bagaimana bisa mereka melakukannya? Apalagi Nenekku yang punya anak 16, atau setidaknya Mamaku yang punya anak 9. Sungkem sama mereka dan ibu-ibu sezamannya 🙏.

Akhirnya, aku mencoba mencari jawaban tentang kehidupan mereka tanpa popok dengan bertanya pada Mama, tapi jawabannya adalah lupa. Mama cuma bilang, "Ya, tinggal ganti aja kali ya Put, bersihkan aja." Entah itu lupa, atau memang begitu sederhananya generasi mereka.

Karena tidak puas, aku mulai mencari di internet, "Bagaimana orang tua zaman dulu bisa hidup tanpa popok?" Dari banyak artikel yang aku temui, satu artikel yang berjudul Ingrid Bauer: Hidup Alami Tanpa Popok Bayi memberikan jawaban yang aku cari. Ternyata bagi semua masyarakat zaman dahulu, hidup tanpa popok dan hidup selaras dengan alam adalah suatu budaya yang biasa dijalankan dalam keseharian. Orang tua akan menatur bayinya dengan suara-suara tertentu, seperti suara mendesis untuk BAK dan suara mengejan untuk BAB. Bagian paling epic adalah ibu memberi sinyal kepada bayinya dan bayi pun merespons, atau pun sebaliknya, bayi memberi sinyal kepada ibu dan ibu memberikan respon untuk menatur bayinya. 

Dari artikel tersebut, aku juga diperkenalkan kepada Ingrid Bauer, seorang praktisi diaper free. Dari pengalaman dengan anaknya, Ingrid menyadari bahwa belajar hidup tanpa popok bukan hanya soal menyelamatkan lingkungan atau mengirit keuangan saja, tapi yang lebih mendasar lagi adalah langkah substansial untuk membangun suatu komunikasi dan koneksi mendalam antara orangtua dengan anak.

Elimination Communication, Langkah Kembali pada Kearifan Masa Lampau

Terinspirasi oleh Ingrid Bauer, aku mulai membaca lebih banyak tentang diaper free dan menemukan istilah "elimination communication" serta komunitas Go Diaper Free. Bermodalkan searching dengan keyword "elimination communication", aku menemukan artikel-artikel berbahasa Inggris dan aku kepayahan memahaminya. Ternyata tidak banyak literatur tentang elimination communication dalam bahasa Indonesia. Namun, aku tetap berusaha membacanya dengan bantuan google translate.

Kemudian, aku menemukan artikel dalam bahasa Indonesia yang membahas Elimination Communication yang ditulis oleh mbak Vika Riandini. Aku juga banyak belajar dari pengalaman beliau. Dalam artikelnya, Mbak Vika menjelaskan, bahwa elimination communication, dalam bahasa Indonesia sering disebut tatur, meski ada sedikit perbedaan juga antara elimination communication dan tatur. Jika tatur adalah rutinitas membawa anak ke toilet untuk buang air dengan rentang waktu yang ditentukan, maka elimination communication lebih menekankan pada komunikasi dan koneksi antara bayi dan orang tua, kegiatan menatur yang bukan berdasarkan waktu, melainkan mengikuti alarm tubuh anak yang dikomunikasikan dengan bahasa ibu-anak.

Diunduh via popmama.com

Memulai Elimination Communication, Toilet Training, dan Tantangannya

Aku mulai menerapkan elimination communication pada anakku di usia 18 bulan. Sebenarnya ini bisa dibilang terlambat, sebab elimination communication berbeda dengan toilet training. Seperti yang sebelumnya aku sampaikan elimination communication lebih menekankan pada komunikasi dan koneksi ibu-anak dan tidak ditarget oleh waktu, sementara toilet training biasanya memiliki target waktu. Saat itu aku menerapkan elimination communication merangkap toilet training.

Dalam proses ini, kondisi anakku bisa dibilang tercederai fitrah kebersihannya, ditambah aku sebagai orang tua yang baru sadar dan sedikit pengetahuan, sedikit kesabaran, maka EC-TT ini kulalui dengan berpayah-payah dan menguras emosi. Aku rasa ini adalah momen perubahanku dari ibu peri jadi ibu bertanduk 😭

Dalam waktu satu bulan, anakku buang air di sana sini dan belum bisa mengomunikasikan sama sekali. Tapi, aku anggap ini adalah kompensasi atas kesalahanku sebelumnya, dan ini adalah ikhtiar mengembalikan fitrah kebersihannya. Masuk bulan kedua, anakku sudah bisa mengomunikasikan, tetapi itu disampaikan setelah keluar pipis atau pup-nya. Tapi aku pikir-pikir, setelah 2 bulan mulai bisa menahan pipis dan mengomunikasikannya, ini tetap suatu perkembangan yang perlu aku syukuri. Alhamdulillah.

Ternyata perjalanan ini tidak semudah yang aku kira. Pada bulan berikutnya, kami mengalami kemunduran, terutama saat kami berkunjung ke rumah Nenek (mertuaku) di akhir pekan dan anakku memakai popok kain (cloth diaper), dan aku lupa menaturnya.

Kemudian, perjalanan kami selalu kembali ke titik awal selama beberapa bulan kemudian. Alasannya tentu saja karena kami tidak konsisten. Akhirnya kami harus memulai lagi dari nol, dan seterusnya seperti siklus yang tidak pasti kapan akan berakhir. Padahal aku memiliki ekspektasi agar anakku lolos toilet training sebelum adiknya lahir, sebelum usianya tepat 2 tahun, seperti cerita sukses toilet training anak-anak lain yang banyak aku dengar. Ah, akhirnya aku menyadari bahwa ternyata inilah biang keladinya, sumber masalah yang membuatku jadi sering marah-marah, dan membuat proses toilet training begitu melelahkan: ekspektasi dan perbandingan.

Remedial Toilet Training

Saat aku dalam proses melahirkan anak kedua, si kakak memakai popok lagi selama beberapa hari di rumah Nenek (karena aku merasa kasihan kalau Nenek harus lap-pel-lap-pel), tetapi kami kembali mencoba lagi ketika kami pulang. Tentu saja, seperti siklus sebelumnya, kami memulai kembali prosesnya dari 0.

Setelah berjalan beberapa pekan, aku menyerah jika harus mengasuh sendiri bayi newborn sambil mengasuh si kakak yang remedial toilet training. Demi kewarasan, akhirnya kakak dipakaikan popok lagi. Sampai adik bayi berusia sekitar 2 bulan, dan saat kondisi fisik dan mentalku sudah lebih stabil, aku pun bertekad untuk remedial toilet training dengan lebih sadar, sabar dan tanpa ekspektasi.

Alhamdulillah, pada usia 2 tahun 3 bulan akhirnya kakak lebih konsisten untuk buang air di toilet. Meskipun toilet training belum sepenuhnya sukses, kami tetap bersyukur atas perkembangan yang kami capai. Menghadapi buang air besar juga tidak mudah, cukup menguras emosi, dan itu kami lewati hingga berbulan-bulan kemudian. Selanjutnya, masih ada juga PR untuk istinja yang masih harus terus dilatih hingga mungkin bertahun ke depan.

***

Namun, yang terpenting, sekarang aku sudah lebih sadar, bahwa ini bukan soal cara mengurangi "beban" sebagai orang tua, melainkan tentang menjaga fitrah kebersihan anakku.

Bagaimana dengan adiknya?
Alhamdulillah, berbekal pengalaman dari anak pertama, aku mulai menerapkan Elimination Communication sejak bayi pada anak keduaku, dengan mengombinasikan clodi jika perlu. Tentang proses EC adik, akan aku ceritakan dalam artikel selanjutnya ya. 

***

Dalam perjalanan ini, aku belajar banyak sekali tentang komunikasi ibu dan anak, dan tenyata banyak hal berbeda dari cerita sukses toilet training yang aku dengar dan baca. Di luar sana, mungkin ada banyak ibu yang mengalami tantangan yang sama sepertiku. Maka aku berbagi pengalaman ini sebagai bentuk dukungan bahwa proses toilet training setiap anak itu memang berbeda, tidak melulu hanya tentang kisah suksesnya. Ada pula kisah jatuh bangunnya, tapi semoga semua prosesnya semakin mengeratkan relasi dan koneksi orang tua dan anak-anak kita ya. 

Aku juga belajar agar kita sebagai orang tua dapat lebih sadar terhadap fitrah anak-anak kita dan berusaha menjaganya. Proses ini mungkin tidak selalu mudah, tapi aku yakin bahwa kesadaran dan usaha untuk menjaga fitrah anak adalah langkah yang berharga. Semoga artikel ini bisa memberikan wawasan dan inspirasi kepada orang tua lain yang menghadapi perjalanan serupa. Terima kasih sudah membaca!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zona 7 Day 1 Cinta Bumi: Membuat Tabel Aktivitas Cinta Bumi

Zona 4 Day 1 Melatih Kemandirian dalam Rutinitas Pagi

Rasa yang Menghidupkan Sujud