Postingan

Surat kepada Aku yang Dulu

Hai, kau yang sedang duduk di bangku kuliah, dikelilingi tumpukan teori dan harapan, menyusun rencana hidup yang indah seperti merangkai origami. Hai, gadis penuh cita-cita yang percaya bahwa hidup bisa diatur serapi to-do list, apa kabarmu? Dulu, kau membayangkan di masa depan kau akan menjadi ibu yang produktif baik secara materi maupun kontribusi, bekerja dari rumah dengan anak-anak bermain ceria di dekatmu, berpenghasilan cukup, tetap tampil manis, dan punya waktu luang untuk membaca buku kesukaanmu. Ah, indah sekali ya? Kau percaya bahwa mimpi bisa diraih dengan niat baik dan perencanaan matang. Aku tersenyum mengingatnya. Bukan karena itu keliru, tapi karena aku baru tahu: hidup tak selalu mau ikut rencana. Kini aku sudah di masa depan itu! Tapi... Hari ini, aku tak bekerja di kantor megah, tidak juga bergaji sepuluh juta, dan hariku tak selalu indah. Kadang aku lupa makan, kadang aku menangis di kamar mandi, kadang aku iri melihat perempuan lain yang tampaknya lebih 'berhasi...

Ambisi, Cinta, dan Pernikahan

Ada sebuah kutipan yang viral sekali di media sosial.  Katanya gini: "Salah satu kesalahan terbesar perempuan adalah menikahi pria yang tidak punya ambisi." Ada yang bercerita dari sudut pandangnya, ada yang sekadar ikut tren viral, ada juga yang jadi mempertanyakannya pernikahannya sendiri. Konten-konten itu nampaknya m emunculkan kebisingan d an luka. Karena di balik kalimat itu, terselip banyak asumsi, dan sedikit sekali ruang untuk memahami. Tapi… Mari kita tarik napas dan bertanya: Apa yang dimaksud dengan ambisi? Karier yang menjulang? Penghasilan dua digit? Jabatan tinggi di usia muda? Lalu… Apa yang membuat seorang pria layak dinikahi? Apakah ia harus selalu berlari, mengejar dunia, demi membuktikan diri? Bagaimana jika ambisinya bukan mendaki puncak materi, tapi mendidik anak-anaknya dengan cinta yang sadar? Tidakkah itu juga ambisi? Atau, karena tidak glamor, kita abaikan? Dan bagaimana jika ada laki-laki yang tampak berambisi, tapi justru malah tidak hadir untuk ke...

Merayakan Kegagalan

Pernah nggak sih, kamu lagi scroll Instagram, terus tanpa sadar mulai ngebandingin hidup sendiri sama hidup orang lain? Yang muncul di feed: keberhasilan demi keberhasilan. Ada yang baru lulus kuliah, jualannya sold out terus, anaknya hafal juz sekian, konsisten edukasi ini itu, homeschooling anaknya dengan sabar, rumahnya estetik, hidupnya terlihat rapi dan… ya, “berhasil”. Aku nggak bilang itu salah. Sama sekali nggak.  Keberhasilan memang pantas dirayakan. Harus malah! Karena di balik keberhasilan itu, pasti ada perjuangan yang nggak kelihatan. Tapi di tengah semua euforia itu, aku jadi kepikiran… Kenapa ya, kegagalan jarang dapat ruang untuk dirayakan juga? Padahal, kalau dipikir-pikir, kegagalan justru sering jadi guru yang paling sabar. Ia mungkin menyakitkan, tapi diam-diam membentuk kita jadi lebih kuat. Mengajarkan kita tentang keikhlasan, keberanian, dan yang paling penting: pengenalan terhadap diri sendiri. Kegagalan bikin kita berhenti sejenak. Bukan untuk menyerah, tap...

Memaafkan: Melepaskan Beban, Memberi Ruang untuk Kedamaian

Ada banyak hal dalam hidup yang tidak berjalan sesuai harapan. Ada orang-orang yang, entah sadar atau tidak, menyakiti kita. Ada keputusan-keputusan yang meninggalkan luka. Dan ada masa lalu yang rasanya terlalu berat untuk dikenang, apalagi diterima. Salah satu proses paling sunyi, namun paling dalam, dalam perjalanan hidup seseorang adalah memaafkan. Bukan, memaafkan bukan berarti melupakan. Bukan berarti membenarkan apa yang salah. Memaafkan tidak mengharuskan kita menghapus rasa sakit atau berpura-pura bahwa kita baik-baik saja. Justru, memaafkan dimulai dari keberanian untuk mengakui luka yang ada, merangkulnya, lalu perlahan-lahan melepaskannya. Aku belajar bahwa memaafkan bukan tentang orang lain—ini tentang diri kita sendiri. Tentang kelegaan yang kita butuhkan. Tentang ruang yang kita butuhkan di dalam hati untuk bernafas, tanpa selalu diganggu oleh rasa sakit yang belum selesai. Sering kali yang membuat sulit memaafkan bukan hanya karena luka yang dalam, tapi karena kita berh...

Antara Vibrasi dan Prasangka Baik: Menjernihkan Konsep Energi dalam Pandangan Islam

Belakangan ini, istilah seperti energi positif, vibrasi, frekuensi pikiran, bahkan resonansi semesta semakin sering terdengar. Di media sosial, dalam buku-buku motivasi, hingga dalam kelas pengembangan diri. Menariknya, tidak sedikit dari istilah ini yang dibungkus dengan nuansa spiritual atau bahkan dikaitkan dengan Islam. Salah satu yang sering dikutip adalah hadits, "Aku sesuai prasangka hamba-Ku kepada-Ku." Sebagai seorang muslim yang ingin terus belajar dan menjaga kemurnian tauhid, pertanyaannya adalah: apakah konsep vibrasi dan resonansi ini benar-benar ilmiah? Apakah sesuai dengan Islam? Ataukah bisa menyesatkan secara halus? Apa Itu Energi, Vibrasi, dan Resonansi? Secara ilmiah, energi adalah kemampuan untuk melakukan kerja, sesuai dengan hukum kekekalan energi dalam fisika klasik. Energi bisa berbentuk kinetik, potensial, listrik, termal, dan sebagainya. Vibrasi (getaran) dan frekuensi adalah konsep nyata dalam fisika. Contohnya, suara merupakan gelombang mekanik ya...

Sikat Gigi di Kampus dan Pelajaran Pernikahan yang Tidak Ada dalam Silabus

Tadi malam aku mimpi sikat gigi di kampus. Bareng suamiku. Bukan di rumah, bukan di penginapan, tapi... di lorong kampus. Kami berjalan dari entahlah—mungkin kost, melewati kost-kostan lainnya selayaknya mahasiswa yang mau ngampus pagi-pagi sekali. Dan lucunya lagi, setelah sampai kampus, ternyata kami bukan yang pertama disana. Ada banyak banget orang yang sikat gigi duluan. Berjejer rapi di depan wastafel—dengan sikat gigi dan odol masing-masing.  Aku dan suami? Ya udah, ikut aja. Ambil tempat kosong, dan sikat gigi. Bahkan seperti keseharianku saat ini, sambil menggendong Hurriyyah bayiku. Wajar aja, kayak rutinitas pagi biasa. Aneh tapi biasa. Absurd tapi terasa masuk akal—setidaknya dalam mimpi. Pas bangun, aku senyum sendiri. Tapi terus muncul pertanyaan: Kenapa sih mimpi bersama suamiku latarnya selalu sekolah dan kampus? Kenapa aku dan suamiku seringkali jadi siswa atau mahasiswa lagi dalam mimpi? Aku merenung, mungkin karena hidup pernikahan memang mirip-mirip kampus...

Ruang Kecil untuk Bersedih

Kadang kita merasa harus selalu kuat. Harus bisa tersenyum. Harus bisa sabar. Harus bisa “melihat sisi baik dari semuanya.” Dan di tengah semua harus itu, kita lupa bahwa kita juga manusia. Lalu datanglah rasa sedih—yang kadang muncul tiba-tiba tanpa alasan yang jelas. Tapi kita malah menahannya. Bukan karena nggak bisa menangis, tapi karena merasa nggak pantas. “Sedih kenapa? Masalahmu cuma segini. Masih banyak yang lebih berat,” begitu kata suara di kepala. Padahal, sedih itu bukan kompetisi. Ia bukan tentang seberapa besar masalah kita di mata dunia. Ia adalah perasaan personal, yang sah untuk hadir tanpa harus mendapat izin dulu dari “standar kelayakan sosial.” Kesedihan bukan soal layak atau tidak layak. Bukan soal siapa yang lebih berat bebannya. Tapi soal menjadi manusia seutuhnya—yang tak hanya tahu cara tertawa, tapi juga bisa menangis dengan jujur. Kita nggak perlu menyamakan atau membandingkan rasa sedih kita dengan tragedi apapun. Luka kecil di dalam tetaplah luka, tetap b...