Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2025

Hadir dalam Duka, Tanpa Banyak Kata

B erduka adalah perjalanan yang sunyi. Saat seseorang mengalami kehilangan, kata-kata sering kali tak lagi memiliki makna. Tidak ada yang bisa benar-benar menghapus kesedihan dengan sekadar berbicara. Bertanya “Apa yang terjadi?”, “Bagaimana perasaanmu?”, atau “Kenapa bisa begini?” hanya akan terdengar seperti formalitas. Sering kali, pertanyaan-pertanyaan itu justru menambah beban. Kehilangan adalah luka yang dalam, dan setiap orang memiliki cara sendiri untuk menghadapinya. Ada yang memilih untuk menangis, ada yang memilih untuk diam, ada pula yang sibuk mengalihkan perhatian agar tidak terlalu larut dalam kesedihan. Namun, satu hal yang pasti: mereka tidak butuh pertanyaan yang mengorek luka, melainkan kehadiran yang tulus dan tanpa syarat. Saat seseorang sedang berduka, cukup doakan mereka dengan penuh ketulusan. Jika memungkinkan, bantu dengan tindakan nyata. Tidak perlu bertanya apakah mereka sudah makan—cukup bawakan atau kirimkan makanan. Tidak perlu bertanya apakah mereka butu...

Ketika Suara Kecil Itu Mencoba Meragukan Kita

Pernah nggak sih, kita ingin membagikan sesuatu—entah cerita, pengalaman, atau sekadar refleksi—tapi tiba-tiba ada suara kecil di kepala yang berbisik, "Yakin mau posting? Apa ini cukup berharga? Apa nggak malu, cuma ini yang bisa kamu bagikan?" Aku sendiri sering mengalaminya. Bahkan, baru-baru ini aku ingin membagikan cerita tentang perjalanan melahirkan, tapi suara kecil itu muncul lagi. "Ya ampun, prestasimu cuma melahirkan anak? Yang lain udah lulus S2, udah sukses ini itu." Dan jujur, rasanya berat. Aku mulai mempertanyakan diri sendiri. Aku mulai merasa nggak cukup. Tapi lalu aku sadar… Kenapa aku tega banget sama diri sendiri? Kalau ada teman yang curhat hal seperti ini, aku pasti akan bilang, "Hei! Hidup setiap orang punya jalannya sendiri. Melahirkan, membesarkan anak, mendidik mereka, tetap berkarya di tengah rutinitas—itu semua juga prestasi!" Tapi kenapa saat suara negatif itu datang dari dalam diri sendiri, aku malah percaya? Lalu aku belajar...

Tumbuh dengan Caramu Sendiri

Gambar
Photo by iStockphoto Setiap tanaman punya musimnya sendiri untuk tumbuh. Setiap bintang punya waktunya sendiri untuk bersinar. Begitu juga dengan kita. Ada waktu-waktu tertentu dalam hidup di mana kita merasa berkembang pesat, penuh energi, dan penuh harapan. Namun, ada juga saat-saat di mana kita merasa stagnan, seolah-olah tidak ada perubahan, tidak ada kemajuan. Aku pernah berada di fase itu. Saat melihat orang lain melangkah lebih cepat, meraih impian mereka satu per satu, sedangkan aku masih berkutat dengan rutinitas yang sama, tanpa ada tanda-tanda "kemajuan besar." Rasa iri dan gelisah kerap muncul. Aku bertanya-tanya, Apakah aku terlalu lambat? Apakah aku salah jalan? Kapan giliranku? Namun, seperti tanaman yang punya musimnya sendiri untuk bertumbuh, aku mulai belajar bahwa hidup ini bukan tentang siapa yang lebih cepat. Ada waktu di mana akar harus tumbuh lebih dalam sebelum batangnya menjulang tinggi. Ada waktu di mana dedaunan harus berguguran sebelum bunga bermek...

Tujuh Tahun Pernikahan

Gambar
Tujuh tahun berlalu—belum lama, tapi juga bukan perjalanan yang singkat. Jika aku melihat ke belakang, begitu banyak hal telah berubah—dalam diriku, dalam dirimu, dalam kita sebagai pasangan. Tahun-tahun pertama adalah tahun belajar. Aku dan kamu adalah dua pribadi dari latar belakang berbeda, dengan kebiasaan, ritme, dan cara mencintai yang tidak selalu sejalan. Kita sering berselisih karena hal-hal kecil—selera makanan, cara menjalani hari, hingga nada bicara. Aku menganggap nada bicara mencerminkan emosi, sedangkan kamu lebih fokus pada isi daripada cara menyampaikan. Aku yang lebih santai, kamu yang terbiasa cepat dan sigap. Kita butuh waktu untuk memahami bahwa perbedaan bukan untuk dipertentangkan, tetapi untuk dijembatani. Kemudian, hadirnya anak pertama mengubah segalanya. Ada peran baru yang harus kita jalani, tanggung jawab yang lebih besar, tetapi juga kebahagiaan yang tak terbandingkan. Pada fase ini, aku mulai menyadari bahwa cinta dalam pernikahan bukan sekadar tentang pe...

2VBAC Part 8 - Momen Penuh Keajaiban

Gambar
Cerita Sebelumnya: 2VBAC Part 7 - Menjelang Detik-Detik Persalinan B egitu telepon dari RS ditutup, bidan Amel dan bidan partner yang menemani langsung sigap mengambil posisi untuk menangkap bayi. Saat prosesnya, bayi agak sulit keluar. Bidan partner sempat khawatir ada lilitan tali pusat, tetapi aku menyampaikan bahwa dari pemeriksaan terakhir tidak ditemukan lilitan. Dorongan alami untuk mengejan mulai terasa semakin kuat, dan di setiap tarikan napas, bidan Amel selalu mengingatkan untuk mengucap basmalah. "Bismillahirrahmanirrahim," ucapku dengan penuh keyakinan, mengumpulkan tenaga yang tersisa. Saat itulah, bidan Amel memberi arahan dengan lembut tapi tegas. "Teh, kalau mau ngejan, jangan angkat pant*t, ya. Dorong ke bawah, lawan tangan aku." Aku berusaha mengikuti arahan itu. Selama ini sering mendengar anjuran 'jangan angkat pant*t saat melahirkan', tapi baru kali ini aku benar-benar merasakan perbedaannya—ternyata teknik ini memang membuat dorongan ...

2VBAC Part 7 - Menjelang Detik-Detik Persalinan

Cerita Sebelumnya: 2VBAC Part 6 - Menuju Persalinan Begitu mendengar bahwa sudah bukaan 6, aku merasa lega. Ini berarti tubuhku merespons dengan baik, dan bayiku semakin mendekati dunia. Setelah menunggu berjam-jam dengan rasa tidak menentu, akhirnya aku tahu bahwa aku semakin dekat dengan pertemuan yang aku nantikan. Aku terus berusaha rileks dan menerima setiap gelombang kontraksi dengan lebih pasrah. Rasanya luar biasa, seperti ombak yang datang berulang-ulang, tapi ada kebahagiaan di dalamnya. Aku tahu, setiap rasa sakit ini membawa bayiku lebih dekat ke pelukanku. Aku mencoba untuk tidak melawan, mengikuti alurnya, dan mempercayai bahwa tubuhku tahu apa yang harus dilakukan. Bidan Amel bilang, kalau ada rasa ingin mengejan boleh, tapi pelan-pelan. Aku mengangguk, mencoba fokus menikmati rasa kontraksi dan mengikuti insting tubuhku. Saat pembukaan 7, TUS! Ketuban pecah dan menyembur. Sensasi itu terasa aneh, hangat, dan lega sekaligus. Bidan Amel langsung mengecek, lalu berkata, ...

2VBAC Part 6 - Menuju Persalinan

Cerita Sebelumnya: 2VBAC Part 5 - Ikhtiar dan Doa di Ujung Kehamilan K ontraksi Semakin Kuat (2 Oktober 2024, Dini Hari) Semakin malam, kontraksi semakin intens. Jam 2 dini hari, aku mulai lelah dan ingin mengistirahatkan tubuh. Alhamdulillah, meskipun terbangun setiap beberapa menit sekali karena kontraksi, aku masih bisa tidur sejenak. Saat Subuh, kontraksi sudah terjadi setiap 3-4 menit sekali. Suami mengajakku pergi ke bidan Amel untuk cek pembukaan, tapi aku ingin menunggu lebih lama. Aku ingin shalat Subuh dulu. Shalat saat itu terasa sangat nikmat, meskipun aku harus menarik dan membuang napas dalam setiap kali kontraksi datang. *** Waktu menunjukkan pukul 5 pagi. Aku menghubungi bidan Amel dan mengabarkan bahwa kontraksi sudah 3 menit sekali dan mulai ada rasa ingin mengejan. Bidan Amel mempersilakan kami datang jika dorongan mengejan sudah tidak bisa ditahan. Aku masih mencoba bertahan hingga sekitar jam setengah 6, lalu meminta suami untuk menelepon Mama mertua agar datang ke...

2VBAC Part 5 - Ikhtiar dan Doa di Ujung Kehamilan

Cerita Sebelumnya: 2VBAC Part 4 - Di Ujung Kehamilan, Harap yang Tak Pernah Hilang 30 September 2024 Hari ini usia kehamilanku tepat 41 minggu. Sehari sebelumnya, aku meminta izin suami untuk mencoba akupuntur sebagai salah satu ikhtiar agar persalinan segera dimulai. Alhamdulillah, Teh Venny merekomendasikan terapis akupuntur di Rancaekek, yaitu Mbak Endah. Saat menjalani terapi, ternyata ditusuk jarum akupuntur itu tidak sakit. Hanya ada sedikit sensasi setruman di awal. Ada hal lucu yang terjadi! Biasanya, jika titik oksitosin dirangsang, tubuh akan merespons dengan kontraksi yang menjalar ke bawah perut. Tapi aku? Justru malah merasa mual. "Energinya malah balik lagi, Teh!" kata Mbak Endah. Kami pun jadi tertawa 😆 Ya, mungkin memang belum saatnya. Tapi tidak apa-apa, rasanya aku hanya ingin ikhtiar maksimal saja. Kalau pun sepulang akupuntur belum ada tanda-tanda kontraksi, insya Allah tidak ada penyesalan. Setidaknya, aku tahu aku sudah berusaha. 1 Oktober 2024 Hari ini...

Sebuah Refleksi tentang Misi Hidup

Setelah refleksi tentang manajemen waktu dan ikhlas yang lalu, aku merasa lebih ringan. Tapi ada satu pertanyaan yang masih tersisa di pikiranku: Kenapa aku masih merasa belum penuh? Lalu, Allah kembali memberikan jawaban atas keresahan ini lewat akun @quranreview yang membagikan e-book Secure Your Heart. Awalnya aku tidak berekspektasi apa-apa, tapi isinya langsung menohok—tentang insecurity, tentang bagaimana Al-Quran memandangnya, dan tentang cara membuat hati kita merasa aman. Aku belum selesai membaca, t api di halaman-halaman awal menjawab keresahanku tentang tujuan hidup, tujuan penciptaan. Salah satu keresahanku adalah: Aku ingin tetap menjadi ibu rumah tangga, tapi juga ingin bermanfaat di luar. Namun dengan kondisi sekarang, aku sering merasa overwhelmed. Padahal, kalau dipikir-pikir, aku bukan sekadar "diam di rumah". Aku punya beberapa aktivitas dan kesibukan lain. Lalu, kenapa aku masih juga merasa ada yang kosong? Gemini bertanya balik: "Apa tujuan hidupmu?...

Sebuah Refleksi tentang Ekspektasi

Kemarin aku iseng ngobrol sama Gemini. Awalnya iseng aja, cuma tanya, kenapa kita sering mengulang pola negatif? Tapi lama-kelamaan, obrolan itu justru membuka keresahan-keresahan yang selama ini sering aku represi. Obrolan itu membuat aku merasa nyaman, didengar, meskipun tidak serta-merta mendapat solusi. Tapi memang, aku tidak sedang mencari solusi. Semuanya hanya berawal dari iseng dan, alhamdulillah, berujung pada kesadaran tentang diriku sendiri. Besoknya, Allah beri aku puing-puing jawaban. Dimulai dari munculnya konten YouTube seorang ibu dengan enam anak yang menjadikan beberes rumah sebagai hobinya. Manajemen waktunya membuatku kagum, tapi yang paling menohok adalah ketika ia berkata: "Kalau kita ikhlas menjalaninya, insya Allah semua terasa ringan." Masya Allah. Iya, ikhlas tuh penting sekali untuk dilakukan dan dievaluasi. Kenapa evaluasi? Karena ikhlas tuh kaitannya dengan niat. Sementara kita tuh harus terus meluruskan niat di awal, di tengah, dan di akhir. Ni...