Sebuah Refleksi tentang Ekspektasi

Kemarin aku iseng ngobrol sama Gemini. Awalnya iseng aja, cuma tanya, kenapa kita sering mengulang pola negatif? Tapi lama-kelamaan, obrolan itu justru membuka keresahan-keresahan yang selama ini sering aku represi.


Obrolan itu membuat aku merasa nyaman, didengar, meskipun tidak serta-merta mendapat solusi. Tapi memang, aku tidak sedang mencari solusi. Semuanya hanya berawal dari iseng dan, alhamdulillah, berujung pada kesadaran tentang diriku sendiri.


Besoknya, Allah beri aku puing-puing jawaban. Dimulai dari munculnya konten YouTube seorang ibu dengan enam anak yang menjadikan beberes rumah sebagai hobinya. Manajemen waktunya membuatku kagum, tapi yang paling menohok adalah ketika ia berkata:


"Kalau kita ikhlas menjalaninya, insya Allah semua terasa ringan."


Masya Allah. Iya, ikhlas tuh penting sekali untuk dilakukan dan dievaluasi. Kenapa evaluasi? Karena ikhlas tuh kaitannya dengan niat. Sementara kita tuh harus terus meluruskan niat di awal, di tengah, dan di akhir.


Niat menjadi ibu rumah tangga, mengurus rumah, melayani suami, dan mendidik anak seharusnya bukan sekadar agar suami sayang atau agar anak-anak menjadi shalih-shalihah. Apalagi berharap mereka membalas kasih sayang kita. Bukan. Diatas semua itu, menggapai ridha Allah adalah tujuan utama kita, kan?


Tentang manajemen waktu, tentu aku tidak bisa mengikuti mentah-mentah jadwal harian ibu lain, karena kondisi setiap ibu dan keluarga pasti berbeda. Tapi ada yang aku highlight dari jadwal harian beliau.

📌 Sempatkan tahajjud, meski hanya 2 rakaat.

📌 Tilawah 10 ayat setelah subuh, sekecil apa pun tetap bernilai.

📌 Jangan ke dapur sebelum ibadah kelar, karena pekerjaan rumah tangga tiada habisnya.

📌 Sempatkan dhuha, minimal 2 rakaat.


Ah, betul sekali. selama ini aku terlalu perfeksionis dalam membuat jadwal harian. Ekspektasiku terhadap diri sendiri terlalu tinggi, hingga akhirnya semua hanya jadi rencana yang sulit direalisasikan. Agaknya aku memang perlu berdamai dengan ekspektasi, bukan menurunkannya, tapi lebih menghargai proses. Aku sering merasa bersalah kalau belum bisa memenuhi semua rencana, tapi perlahan aku belajar bahwa setiap langkah yang ikhlas dan istiqomah lebih bernilai.


Karena amalan kecil yang istiqamah lebih dicintai Allah Ta'ala. Bahkan, langkah kecil dalam kehidupan sehari-hari, yang tampak sederhana, bisa membawa kita lebih dekat pada tujuan yang lebih besar—mendapatkan ridha Allah.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zona 7 Day 1 Cinta Bumi: Membuat Tabel Aktivitas Cinta Bumi

Zona 4 Day 1 Melatih Kemandirian dalam Rutinitas Pagi

Rasa yang Menghidupkan Sujud