2VBAC Part 5 - Ikhtiar dan Doa di Ujung Kehamilan
Cerita Sebelumnya: 2VBAC Part 4 - Di Ujung Kehamilan, Harap yang Tak Pernah Hilang
30 September 2024
Hari ini usia kehamilanku tepat 41 minggu. Sehari sebelumnya, aku meminta izin suami untuk mencoba akupuntur sebagai salah satu ikhtiar agar persalinan segera dimulai. Alhamdulillah, Teh Venny merekomendasikan terapis akupuntur di Rancaekek, yaitu Mbak Endah.
Saat menjalani terapi, ternyata ditusuk jarum akupuntur itu tidak sakit. Hanya ada sedikit sensasi setruman di awal.
Ada hal lucu yang terjadi! Biasanya, jika titik oksitosin dirangsang, tubuh akan merespons dengan kontraksi yang menjalar ke bawah perut. Tapi aku? Justru malah merasa mual. "Energinya malah balik lagi, Teh!" kata Mbak Endah. Kami pun jadi tertawa 😆
Ya, mungkin memang belum saatnya. Tapi tidak apa-apa, rasanya aku hanya ingin ikhtiar maksimal saja. Kalau pun sepulang akupuntur belum ada tanda-tanda kontraksi, insya Allah tidak ada penyesalan. Setidaknya, aku tahu aku sudah berusaha.
1 Oktober 2024
Hari ini aku merasa sangat bersemangat! Aku melakukan deep cleaning di rumah—mencuci pakaian, merapikan lemari, menyapu, mengepel jongkok, bahkan membersihkan kaca yang berdebu. Kakak Hauna dan Kakak Hikari juga ikut merapikan mainan mereka dengan rapi. Mereka bilang, "Biar adek bayi mau keluar kalau rumahnya bersih!" Masya Allah, lucu sekali.
Siangnya, aku mengikuti pengajian pekanan yang kebetulan dilakukan secara online karena banyak anak-anak kami yang sedang sakit gondongan. Saat itu, aku mulai merasakan gelombang cinta (kontraksi), meskipun masih jarang—sekitar satu jam sekali dan belum intens.
Sore hari, suami pulang dalam kondisi kurang fit. "Masuk angin," katanya. Setelah Isya, aku memberi tahu suami bahwa sebenarnya sejak siang aku mulai merasakan kontraksi lagi dan hingga malam ini masih terus datang, meskipun belum intens.
Suami bersyukur sekali mendengarnya. Aku bisa melihat ekspresi bahagia di wajahnya. Meskipun masih juga belum teratur, tapi alhamdulillah bahagia sekali rasanya bisa merasakan kontraksi lagi.
Aku pun terus bergerak—jalan kaki bolak-balik di dalam rumah, duduk dan menggoyangkan panggul di atas gym ball, serta berhenti sejenak saat kontraksi datang. Suami mengingatkan untuk istirahat, tapi kontraksi yang semakin kuat membuatku sulit mengantuk.
Sekitar jam 11 malam, aku menelepon Mama dan meminta doanya. Setelah telepon ditutup, aku menyalakan murattal dan memutar doa Nabi Yunus agar aku tidak lepas dari dzikir di tengah kontraksi.
Aku juga teringat nasihat dari buku Persalinan Maryam yang mengatakan bahwa saat seorang wanita sedang bersalin, pintu langit terbuka untuk doa-doa yang sang ibu panjatkan. Masya Allah, kapan lagi kesempatan emas ini datang? Allah Maha Baik.
Sepanjang kontraksi aku terus berdoa:
"Ya Allah, sehatkan aku dan anakku. Gantikan rasa sakit ini dengan lahirnya anak shalih yang berakhlak mulia, yang menjadi pejuang agama-Mu. Ya Allah, jadikan kami orang tua yang shalih-shalihah, yang mampu mendidik anak-anak kami dengan iman dan Islam yang kuat."
Di antara doa-doa yang kupanjatkan, kontraksi semakin terasa nyata. Aku tahu, sebentar lagi waktunya akan tiba…
Komentar
Posting Komentar