Tujuh Tahun Pernikahan


Tujuh tahun berlalu—belum lama, tapi juga bukan perjalanan yang singkat.


Jika aku melihat ke belakang, begitu banyak hal telah berubah—dalam diriku, dalam dirimu, dalam kita sebagai pasangan.


Tahun-tahun pertama adalah tahun belajar. Aku dan kamu adalah dua pribadi dari latar belakang berbeda, dengan kebiasaan, ritme, dan cara mencintai yang tidak selalu sejalan. Kita sering berselisih karena hal-hal kecil—selera makanan, cara menjalani hari, hingga nada bicara. Aku menganggap nada bicara mencerminkan emosi, sedangkan kamu lebih fokus pada isi daripada cara menyampaikan. Aku yang lebih santai, kamu yang terbiasa cepat dan sigap. Kita butuh waktu untuk memahami bahwa perbedaan bukan untuk dipertentangkan, tetapi untuk dijembatani.


Kemudian, hadirnya anak pertama mengubah segalanya. Ada peran baru yang harus kita jalani, tanggung jawab yang lebih besar, tetapi juga kebahagiaan yang tak terbandingkan. Pada fase ini, aku mulai menyadari bahwa cinta dalam pernikahan bukan sekadar tentang perasaan, tetapi tentang keputusan. Keputusan untuk memahami, meskipun tidak selalu setuju. Keputusan untuk menghargai, meskipun yang dilakukan terasa biasa. Keputusan untuk tetap ada, meskipun hidup tidak selalu indah.


Aku masih ingat bagaimana kita pernah berada dalam kondisi ekonomi yang sulit, lalu bangkit bersama. Kita menikmati fase ketika segalanya terasa lebih leluasa, merasakan kebebasan untuk melakukan banyak hal yang kita inginkan. Lalu, ketika pandemi datang dan semuanya berubah lagi, kita kembali beradaptasi. Aku hamil anak kedua, situasi menantang, dan kita mencoba berbagai cara agar tetap bertahan. Saat itu, aku belajar bahwa pernikahan bukan hanya tentang saling mencintai dalam kenyamanan, tetapi juga tentang saling menggenggam di tengah kesulitan.


Perubahan itu selalu membawa tantangannya sendiri. Setelah terbiasa bersama terus-menerus, kita harus beradaptasi dengan ritme yang baru. Untuk pertama kalinya sejak memiliki anak, kita tidak lagi bersama selama 24 jam penuh. Awalnya, aku merasa kesepian. Tapi dari situ, aku belajar menemukan kebahagiaan dalam keseharian bersama anak-anak. Aku menikmati momen-momen kecil yang membuatku merasa hidup—menemani mereka belajar, membaca buku bersama, bermain di bawah matahari pagi. Ada kelelahan, tentu. Bahkan ada frustrasi. Tapi yang lebih kuat dari semua itu adalah rasa hidup yang begitu nyata.


Tahun keenam membawa perubahan besar dalam hidup kita. Ada keputusan yang harus diambil, ada kebiasaan yang harus diubah. Aku mulai belajar mengelola keuangan dengan lebih ketat, mengatur pengeluaran dengan lebih cermat. Belajar memilah mana yang benar-benar perlu dan mana yang bisa ditunda. Rasanya memang menantang, tapi justru dari situ aku sadar: kecukupan itu bukan hanya soal angka, tapi juga tentang bagaimana kita melihatnya. Dan Allah selalu punya cara-Nya sendiri untuk mencukupkan. 


Hari ini, setelah tujuh tahun berjalan bersama, aku semakin yakin bahwa pernikahan bukan tentang mencari yang sempurna, tetapi tentang memilih untuk terus bersama, dengan segala ketidaksempurnaan yang ada.


Aku juga semakin memahami bahwa cinta dalam pernikahan tidak selalu hadir dalam bentuk yang kita harapkan. Ia bisa berbentuk kesabaran saat lelah, kehadiran dalam diam, atau usaha untuk tetap ada meskipun segalanya terasa sulit. Cinta bukan hanya tentang memberi dengan cara yang kita tahu, tetapi tentang belajar bagaimana memberi dengan cara yang benar untuk satu sama lain.


Pernikahan bukan hanya tentang membangun rumah tangga, tetapi juga tentang menciptakan ruang yang nyaman untuk hati pulang.


Dan sampai hari ini, terima kasih masih tetap memilihku, seperti aku memilihmu.


#7TahunBersama #SalingMemilih #RefleksiPernikahan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zona 7 Day 1 Cinta Bumi: Membuat Tabel Aktivitas Cinta Bumi

Zona 4 Day 1 Melatih Kemandirian dalam Rutinitas Pagi

Rasa yang Menghidupkan Sujud