Postingan

Menampilkan postingan dari 2025

Surat kepada Aku yang Dulu

Hai, kau yang sedang duduk di bangku kuliah, dikelilingi tumpukan teori dan harapan, menyusun rencana hidup yang indah seperti merangkai origami. Hai, gadis penuh cita-cita yang percaya bahwa hidup bisa diatur serapi to-do list, apa kabarmu? Dulu, kau membayangkan di masa depan kau akan menjadi ibu yang produktif baik secara materi maupun kontribusi, bekerja dari rumah dengan anak-anak bermain ceria di dekatmu, berpenghasilan cukup, tetap tampil manis, dan punya waktu luang untuk membaca buku kesukaanmu. Ah, indah sekali ya? Kau percaya bahwa mimpi bisa diraih dengan niat baik dan perencanaan matang. Aku tersenyum mengingatnya. Bukan karena itu keliru, tapi karena aku baru tahu: hidup tak selalu mau ikut rencana. Kini aku sudah di masa depan itu! Tapi... Hari ini, aku tak bekerja di kantor megah, tidak juga bergaji sepuluh juta, dan hariku tak selalu indah. Kadang aku lupa makan, kadang aku menangis di kamar mandi, kadang aku iri melihat perempuan lain yang tampaknya lebih 'berhasi...

Ambisi, Cinta, dan Pernikahan

Ada sebuah kutipan yang viral sekali di media sosial.  Katanya gini: "Salah satu kesalahan terbesar perempuan adalah menikahi pria yang tidak punya ambisi." Ada yang bercerita dari sudut pandangnya, ada yang sekadar ikut tren viral, ada juga yang jadi mempertanyakannya pernikahannya sendiri. Konten-konten itu nampaknya m emunculkan kebisingan d an luka. Karena di balik kalimat itu, terselip banyak asumsi, dan sedikit sekali ruang untuk memahami. Tapi… Mari kita tarik napas dan bertanya: Apa yang dimaksud dengan ambisi? Karier yang menjulang? Penghasilan dua digit? Jabatan tinggi di usia muda? Lalu… Apa yang membuat seorang pria layak dinikahi? Apakah ia harus selalu berlari, mengejar dunia, demi membuktikan diri? Bagaimana jika ambisinya bukan mendaki puncak materi, tapi mendidik anak-anaknya dengan cinta yang sadar? Tidakkah itu juga ambisi? Atau, karena tidak glamor, kita abaikan? Dan bagaimana jika ada laki-laki yang tampak berambisi, tapi justru malah tidak hadir untuk ke...

Merayakan Kegagalan

Pernah nggak sih, kamu lagi scroll Instagram, terus tanpa sadar mulai ngebandingin hidup sendiri sama hidup orang lain? Yang muncul di feed: keberhasilan demi keberhasilan. Ada yang baru lulus kuliah, jualannya sold out terus, anaknya hafal juz sekian, konsisten edukasi ini itu, homeschooling anaknya dengan sabar, rumahnya estetik, hidupnya terlihat rapi dan… ya, “berhasil”. Aku nggak bilang itu salah. Sama sekali nggak.  Keberhasilan memang pantas dirayakan. Harus malah! Karena di balik keberhasilan itu, pasti ada perjuangan yang nggak kelihatan. Tapi di tengah semua euforia itu, aku jadi kepikiran… Kenapa ya, kegagalan jarang dapat ruang untuk dirayakan juga? Padahal, kalau dipikir-pikir, kegagalan justru sering jadi guru yang paling sabar. Ia mungkin menyakitkan, tapi diam-diam membentuk kita jadi lebih kuat. Mengajarkan kita tentang keikhlasan, keberanian, dan yang paling penting: pengenalan terhadap diri sendiri. Kegagalan bikin kita berhenti sejenak. Bukan untuk menyerah, tap...

Memaafkan: Melepaskan Beban, Memberi Ruang untuk Kedamaian

Ada banyak hal dalam hidup yang tidak berjalan sesuai harapan. Ada orang-orang yang, entah sadar atau tidak, menyakiti kita. Ada keputusan-keputusan yang meninggalkan luka. Dan ada masa lalu yang rasanya terlalu berat untuk dikenang, apalagi diterima. Salah satu proses paling sunyi, namun paling dalam, dalam perjalanan hidup seseorang adalah memaafkan. Bukan, memaafkan bukan berarti melupakan. Bukan berarti membenarkan apa yang salah. Memaafkan tidak mengharuskan kita menghapus rasa sakit atau berpura-pura bahwa kita baik-baik saja. Justru, memaafkan dimulai dari keberanian untuk mengakui luka yang ada, merangkulnya, lalu perlahan-lahan melepaskannya. Aku belajar bahwa memaafkan bukan tentang orang lain—ini tentang diri kita sendiri. Tentang kelegaan yang kita butuhkan. Tentang ruang yang kita butuhkan di dalam hati untuk bernafas, tanpa selalu diganggu oleh rasa sakit yang belum selesai. Sering kali yang membuat sulit memaafkan bukan hanya karena luka yang dalam, tapi karena kita berh...

Antara Vibrasi dan Prasangka Baik: Menjernihkan Konsep Energi dalam Pandangan Islam

Belakangan ini, istilah seperti energi positif, vibrasi, frekuensi pikiran, bahkan resonansi semesta semakin sering terdengar. Di media sosial, dalam buku-buku motivasi, hingga dalam kelas pengembangan diri. Menariknya, tidak sedikit dari istilah ini yang dibungkus dengan nuansa spiritual atau bahkan dikaitkan dengan Islam. Salah satu yang sering dikutip adalah hadits, "Aku sesuai prasangka hamba-Ku kepada-Ku." Sebagai seorang muslim yang ingin terus belajar dan menjaga kemurnian tauhid, pertanyaannya adalah: apakah konsep vibrasi dan resonansi ini benar-benar ilmiah? Apakah sesuai dengan Islam? Ataukah bisa menyesatkan secara halus? Apa Itu Energi, Vibrasi, dan Resonansi? Secara ilmiah, energi adalah kemampuan untuk melakukan kerja, sesuai dengan hukum kekekalan energi dalam fisika klasik. Energi bisa berbentuk kinetik, potensial, listrik, termal, dan sebagainya. Vibrasi (getaran) dan frekuensi adalah konsep nyata dalam fisika. Contohnya, suara merupakan gelombang mekanik ya...

Sikat Gigi di Kampus dan Pelajaran Pernikahan yang Tidak Ada dalam Silabus

Tadi malam aku mimpi sikat gigi di kampus. Bareng suamiku. Bukan di rumah, bukan di penginapan, tapi... di lorong kampus. Kami berjalan dari entahlah—mungkin kost, melewati kost-kostan lainnya selayaknya mahasiswa yang mau ngampus pagi-pagi sekali. Dan lucunya lagi, setelah sampai kampus, ternyata kami bukan yang pertama disana. Ada banyak banget orang yang sikat gigi duluan. Berjejer rapi di depan wastafel—dengan sikat gigi dan odol masing-masing.  Aku dan suami? Ya udah, ikut aja. Ambil tempat kosong, dan sikat gigi. Bahkan seperti keseharianku saat ini, sambil menggendong Hurriyyah bayiku. Wajar aja, kayak rutinitas pagi biasa. Aneh tapi biasa. Absurd tapi terasa masuk akal—setidaknya dalam mimpi. Pas bangun, aku senyum sendiri. Tapi terus muncul pertanyaan: Kenapa sih mimpi bersama suamiku latarnya selalu sekolah dan kampus? Kenapa aku dan suamiku seringkali jadi siswa atau mahasiswa lagi dalam mimpi? Aku merenung, mungkin karena hidup pernikahan memang mirip-mirip kampus...

Ruang Kecil untuk Bersedih

Kadang kita merasa harus selalu kuat. Harus bisa tersenyum. Harus bisa sabar. Harus bisa “melihat sisi baik dari semuanya.” Dan di tengah semua harus itu, kita lupa bahwa kita juga manusia. Lalu datanglah rasa sedih—yang kadang muncul tiba-tiba tanpa alasan yang jelas. Tapi kita malah menahannya. Bukan karena nggak bisa menangis, tapi karena merasa nggak pantas. “Sedih kenapa? Masalahmu cuma segini. Masih banyak yang lebih berat,” begitu kata suara di kepala. Padahal, sedih itu bukan kompetisi. Ia bukan tentang seberapa besar masalah kita di mata dunia. Ia adalah perasaan personal, yang sah untuk hadir tanpa harus mendapat izin dulu dari “standar kelayakan sosial.” Kesedihan bukan soal layak atau tidak layak. Bukan soal siapa yang lebih berat bebannya. Tapi soal menjadi manusia seutuhnya—yang tak hanya tahu cara tertawa, tapi juga bisa menangis dengan jujur. Kita nggak perlu menyamakan atau membandingkan rasa sedih kita dengan tragedi apapun. Luka kecil di dalam tetaplah luka, tetap b...

Rasa yang Menghidupkan Sujud

Pernah ada masa ketika sujud membuat mataku basah, dan bacaan demi bacaan terasa seperti bisikan lembut dari langit. Sholat bukan sekadar gerakan, tapi pelukan. Perjumpaan yang kurindukan, bukan kewajiban yang kulakukan. Saat itu, rasanya... dekat. Dalam. Tenang. Namun waktu bergulir, hidup terus berputar. Hari-hari semakin padat, pikiranku semakin riuh. Entah sejak kapan, sholat berubah rupa—dari pelukan menjadi jeda. Jeda dari rutinitas, bukan pertemuan yang menyembuhkan. Tubuhku masih setia berdiri lima kali sehari, namun hatiku seringkali tertinggal di tempat lain. Berpikir, bergegas, berisik. Dan yang menyedihkan, aku terbiasa. Terbiasa sholat tanpa rasa. Terbiasa menyapa-Nya tanpa benar-benar hadir. Hingga suatu hari, rindu itu datang. Rindu yang menyesakkan. Rindu berdiri dengan gemetar. Rindu sujud yang lama, karena tak ingin cepat berpisah. Rindu rasa itu. Rindu Dia. Lalu aku mulai bertanya pada diri sendiri: Apa yang membuat sholat terasa hidup? Apa yang membuat sujud menjadi...

Menemukan Hobi, Menemukan Diri

"Apa hobimu?” Pertanyaan sederhana yang sering bikin aku bengong. Kadang terdiam cukup lama, lalu menjawab dengan ragu, “Hmm… aku suka nulis sih. Tapi belum rutin.” Atau, “Ya suka baca juga, tapi akhir-akhir ini jarang.” Sebenarnya, ini bukan soal nggak punya hobi. Tapi lebih ke bingung: apa yang bisa disebut hobi, dan apa yang cuma aktivitas biasa? Apalagi kalau aktivitas itu nggak berpotensi menghasilkan uang, atau bahkan dilakukan sambil rebahan. Apakah itu masih bisa disebut hobi? Lalu pertanyaan berikutnya muncul: Bukankah harusnya hobi itu produktif? Nah, sebelum melanjutkan, aku jadi penasaran untuk intip dulu makna kata “produktif” menurut KBBI. Ternyata cukup menarik. P roduktif: memberi hasil, manfaat, dan sebagainya. Ternyata definisinya tidak sesempit yang selama ini seringkali jadi standar sosial. Tidak ada kata “uang”, tidak juga “karya besar”, apalagi “harus terlihat orang lain.”  Justru KBBI memberi ruang pada hasil, manfaat, dan sebagainya, yang bisa dieksplorasi ...

Ketika Allah Menyelamatkan Lewat Ujian

B eberapa waktu lalu, aku membaca sebuah utas dari Ustadz Hanan Attaki di WhatsApp Community. Kalimatnya singkat, tapi cukup menghentak hati: "Mungkin karena amal shaleh kita biasa-biasa saja. Atau mungkin taubat kita belum cukup untuk membuat kita sampai ke surga. Maka lewat ujianlah Allah menyelamatkan kita." Aku terdiam cukup lama setelah membaca itu. Rasanya seperti sedang ditunjuk langsung. Karena jujur saja, kalau aku nilai amalku sendiri… ya, memang biasa-biasa saja. Ibadah harian yang sering tak maksimal. Doa yang kadang sekadar formalitas. Shalat yang masih sering terburu-buru. Bahkan taubat yang bolak-balik pada dosa yang sama. Tapi aku tetap berharap surga. Lalu aku merenung: mungkin ujian-ujian dalam hidupku selama ini adalah bentuk betapa Allah menyayangiku, karena Allah tahu amalanku belum cukup untuk sampai ke surga-Nya. --- Ujian itu datang dalam berbagai rupa. Kadang dalam bentuk kehilangan, kadang dalam bentuk kelelahan yang tak terjelaskan. Ada kalanya data...

Saat Dunia Butuh Lebih Banyak Kisah, Bukan Sekadar Data

Pernahkah sebuah cerita membuatmu menangis, sementara angka hanya lewat begitu saja? Pernahkah kamu membaca kisah seseorang yang kehilangan segalanya dalam satu malam? Kamu mungkin tak bisa melupakannya. Tapi bagaimana dengan statistik kemiskinan tahun ini? Berapa angkanya? Kita hidup di zaman di mana data menjadi raja. Algoritma menentukan apa yang kita lihat, mesin pencari menyaring informasi yang kita butuhkan, dan angka-angka mengukur hampir segala aspek kehidupan kita. Dari jumlah langkah harian yang dihitung smartwatch hingga rekomendasi belanja berdasarkan riwayat pencarian, seolah dunia sedang berusaha memahami kita dengan mengurai kita menjadi kumpulan data. Tapi, apakah manusia benar-benar bisa direduksi hanya menjadi angka dan pola? Di tengah arus informasi yang deras, ada sesuatu yang semakin langka: kisah. Kisah yang tidak sekadar memberi tahu, tetapi menggetarkan hati. Kisah yang tidak hanya berisi fakta, tetapi membawa makna. Dunia tidak hanya membutuhkan lebih banyak ...

Pelajaran Hidup dari Menjadi Ibu: Hal-hal yang Dulu Tidak Aku Sadari

Dulu, aku berpikir bahwa menjadi ibu adalah tentang mengasuh, mendidik, dan memastikan anak tumbuh sehat. Aku melihatnya sebagai peran alami yang pasti bisa dijalani dengan naluri. Tapi ternyata, menjadi ibu adalah perjalanan belajar seumur hidup yang penuh kejutan. Ada begitu banyak hal yang baru aku sadari setelah menjalaninya sendiri, hal-hal yang dulu tak pernah terpikirkan. 1. Waktu Ternyata Begitu Berharga Sebelum punya anak, aku merasa waktu selalu cukup. Bisa rebahan lebih lama, gampang 'hayu' kalau diajak kemanapun tanpa banyak pertimbangan, atau yaa sekadar menikmati secangkir teh tanpa gangguan. Tapi setelah menjadi ibu, waktu terasa begitu cepat berlalu. Bangun pagi, mengurus anak, memasak, bekerja, berkomunitas, lalu tiba-tiba hari sudah malam. Aku belajar bahwa setiap momen berharga, bahkan yang paling sederhana sekalipun. Sekarang, menikmati teh hangat tanpa interupsi sudah seperti liburan kecil bagiku. 2. Tidur Nyenyak Adalah Kemewahan Dulu, tidur adalah hal bia...